Rabu, 01 Oktober 2014

Jauh di mata dekat di hati


Saat membersamai pengajian, seminar atau pelatihan, seringkali saya terkesan dengan sessi interaktif. Inginnya setiap kali menuliskan, karena sebenarnya dialog itu menarik untuk disimak oleh yang tidak hadir dalam forum sekalipun.
Mumpung sempat, saya tuliskan oleh-oleh pengajian Senin sore tgl 29 September di sebuah kantor pemerintahan. Pesertanya bapak ibu karyawan kantor tersebut.

Dalam acara pengajian tersebut seorang bunda bertanya sambil menahan air mata.
"Bagaimana caranya kita menjaga agar selalu dekat dengan anak kita...ketika anak sekolah di pesantren atau boarding school dan hanya bertemu sebulan sekali..."
Bunda ini beberapa kali berhenti saat bercerita, untuk dapat mengatur perasaannya.
Putra pertamanya 13 tahun dan nyantri di salah satu sekolah di kota lain.


Saya dapat merasakan apa yang bunda tersebut rasakan.
Awal-awal ditinggal oleh si no 5, rasa kehilangan amat sangat menyiksa. Setiap kali mengingatnya, apalagi melihat fotonya saya menangis saja. Dia boarding di sebuah SMPIT.

Kemudian saya dapat cerita anak teman yang barus berumur 7 tahun, seusia Revo, boarding juga di pesantren tahfidz yang jauh dari orang tuanya. Mereka juga hanya jatah menengok sebulan sekali. Kulihat bagaimana tabahnya sang orang tua.
Jadilah saya menengok diri sendiri, dan bertanya: mengapa pula saya cengeng?

Bukankah saya sering menasehati orang lain bahwa agar anaknya kerasaan dan nyaman di pesantren, orang tuanya harus tabah dan yakin. Tak ada pilihan lain, saya harus berjuang untuk yakin. berjuang untuk menguatkan hati.

Bulan kemarin ketika si no 5 pulang dan mendapat cerita tentang 'dunia' pesantren yang cukup 'tegas', hati sempat goyah lagi. Badannya sedikit kurus dan kelelahan membayang di wajahnya. Walaupun demikian rasa hati tak saya nampakkan pada anak.

Tekat saya: Saya harus membantu anak dari jauh.
Setiap kali melakukan segala sesuatu, saya ingat anak saya dan saya doakan dia. Bila tergesa dan hampir minum dengan berdiri, saya akan duduk lebih jenak dan menikmati minuman dengan adab yang baik, sambil berkata dalam hati:

"Ya Allah aku minum dengan adab yang baik. ingatkanlah selalu anakku di sana agar selalu makan minum sambil duduk dengan berdoa dan adab yang baik" 

Saya ingat ceritanya bagaimana mereka yang melakukan pelanggaran ringan seperti itu tetap dihukum dengan roll depan beberapa kali. Anakkupun tak luput dari kelalaian ini dan menerima konsekwensinya.

Saya menjadi lebih rajin bertilawah dan setiap kali kucium mushaf sambil berdoa:
"Ya Allah aku cintai Al qur'an dan mudahkanlah putraku di sana untuk menghafal dan memahaminya..."

Demikian pula saat saya lelah dan enggan melakukan sesuatu, mengingat putraku akan membuatku bersemangat lagi dan merasa sehat. Saya berdoa ia selalu sehat dan giat di pesantren.

Setiap mendengar adzan, saya bersegera sholat dengan berdoa agar anak saya juga demikian dan menjadi anak yang disiplin.

Begitulah cara saya terhubung pada anak yang jauh dari jangkauan tangan. Selain itu terus doakan di setiap sholat kita dengan doa terbaik untuk kebaikan ananda dunia akhirat.

Jika saya ingin menangis, saya biarkan saja air mata luruh sebagai bagian dari kecintaan. tapi tak ada lagi keraguan atau kegamangan berpisah. Kita titipkan anak kita pada Allah agar selalu dalam bimbingan hidayahNya.
Apa hubungannya dengan pertanyaan ibu tadi?

Saya hanya pesankan bahwa walaupun jauh di mata, jauh dari jangkauan tangan, jiwa kita tetap bisa terhubung dengan terus mendoakannya saat kita melakukan kebaikan.

"Tapi setiap kali saya jadi menangis bunda..." katanya sambil mengusap air mata.
Saya hanya mengelus lengannya dan berkata..
" Nanti dengan berlalunya waktu ibu akan bisa mengatur kapan ibu akan biarkan air mata mengalir, dan kapan ibu bisa menyimpannya untuk waktu yang tepat. Ibu pasti bisa...!"
Kulihat senyum harapannya. Senyum harapan setiap bunda yang menitipkan buah hatinya di lingkungan yang lebih baik untuk mereka lebih banyak menyerap pelajaran kehidupan.


Dekat di mata jauh di hati (?)

Ini pertanyaan ibu yang yang lain lagi dalam forum yang sama.

" Bagaimana mendekati anak remaja agar mau di nasehati atau bersahabat dengan kita? Anak saya usia klas 2 SMP, tinggal di rumah, tapi kalau sampai di rumah hanya hp yang dilihat. Dinasehati sulit, diajak ngobrol hanya jawab pendek-pendek...seperti sudah kecanduan dengan gadgetnya...."

Wow!
Saya juga kadang mengalaminya. Dan banyak kudengar pertanyaan serupa dari orang tua yang memiliki anak remaja.
Meraih hati anak remaja, apakah sesulit itu?

"Saya cemburu dengan teman saya yang anaknya sedikit-sedikit telpon mamahnya, curhat...anak saya ditanya saja belum tentu menjawab..."

Ehm.
Berteman dengan remaja tidak bisa dipaksakan tiba-tiba menjadi dekat. Anak-anak telah memiliki file dalam ingatan mereka tentang bagaimana orang tua merespon cerita atau curhatan mereka. Saat anak tidak yakin bahwa ia akan mendapat respon yang tepat, mungkin mereka anak menahan ceritanya untuk diri mereka sendiri atau orang lain yang di rasa nyaman baginya.

Saya sering menasehatkan untuk orang tua mulai memutihkan kembali hubungan dengan anak. jika ada tombol restart, tekanlah. 

Caranya:
Memulai dengan keinsyafan untuk bertaubat pada Allah atas semua kesalahan. Memulai untuk menjadi diri yang lebih baik. Belajar berkomunikasi dengan lebih bijak dengan anak dan meminta maaf pada anak atas semua keterlanjuran di masa lalu.

Memang anak tidak semerta-merta akan nempel dengan kita, tapi kesungguhan kita dan waktu akan membuktikan cinta kita dan kelutulusan kita. Mata hati anak akan melihat itu.

Sementara itu, lakukan pendekatan lain. Jika anak tidak dapat diajak bicara saat ia terjaga, ajaklah jiwanya yang berbicara saat ia tidur.

Pada malam hari bangunlah orang tua, menunaikan sholat malam, lalu ciumlah kening anak, usap kepalanya, usap dadanya, pandanglah wajahnya dengan penuh cinta. lantunkan semua doa kebaikan yang ayah bunda inginkan darinya. Biarkan jiwa anda yang berbicara dengan jiwanya. Biarkan air mata anda menjadi saksi kesungguhan untuk meraih jiwanya.

Lakukan saja setiap hari. Jika ananda jauh, bayangkan saja saat anda tafakkur di atas sajadah selepas sholat malam dan bertilawah.

Anak-anak kita walaupun berada di samping kita, jiwa mereka dalam genggaman Allah. Mohonlah pada Sang pemilik jiwa ananda agar memberikan hidayah dan bimibingan, membukan pintu hati ananda dan mendengarkan semua harapan dan nasehat kebaikan.

Qoulan tsaqila atau perkataan yang berbobot dari orang tua, selain karena pemilihan kata yang tepat dan efektif, secukupnya dan disampaikan pada waktu yang tepat, juga karena ada resonansi ruhiyah dari orang tua ruhiyah. maka rajin mendekat dengan amal wajib dan mengetuk cinta Allah dengan amal sunnah adalah upaya menjadi orang tua ruhiyah.

Jangan hanya mengandalkan logika, mengandalkan perkataan manusia, apalah lagi memaksakan kehendak dan kekerasan fisik. Hanya menjadikan anak makin jauh. Jauh fisik dan jauh jiwanya.

Pagi hari saat membangunkan anak, ucapkan semua doa kebaikan dan harapan, sehingga anak memulai hari dengan kegembiraan. Saat matanya terbuka berikan senyum yang paling manis dan segelas minuan kesukaannya...
Cukup untuk membuatnya bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan orang tuanya.

Tak ada kebaikan yang sia-sia. tak ada doa yang sirna, apalagi jika dari ketulusan orang tua. Tunggulah akan sampai saatnya anak kembali ke pangkuan anda.

Ayah bunda, yuuk bersama berusaha meraih jiwa anak-anak kita, jangan menunggunya remaja, mulailah sekarang juga.

Semoga bermanfaat oleh-olehnya :D

4 komentar:

  1. Materi pengajian nya bermakna ganda ya , hmhmhmhmhm jauh di mata dekat di hati itu lah hubungan anak dengan orang tuanya ya kan bu atau pak :) .

    BalasHapus
  2. subhanallah, sebuah pencerahan yang sangat indah... makasih Mak Ida... :-)

    BalasHapus